Pejabat Publik Tidak Boleh Ngomong Sembarangan Kayak Anjing Menggonggong
Ketika seorang pejabat publik bicara, itu bukan cuma suara pribadi. Itu adalah suara negara, suara institusi, suara dari apa yang dia jabat.
Satu kalimat yang salah bisa bikin harga pasar bergejolak, diplomasi retak, bahkan rakyat tersulut emosi.
Sayangnya, masih banyak pejabat yang bicara seenak lidah, seolah-olah mereka lagi nongkrong di warung kopi.
Pendahuluan: Bicara Itu Seni, Apalagi Kalau Anda Pejabat
Pejabat publik bukan hanya sekadar manusia biasa dengan jabatan formal.
Mereka adalah wajah negara, suara resmi yang didengar rakyat, media, bahkan dunia internasional.
Itu sebabnya, setiap kata yang keluar dari mulut pejabat publik mempunyai bobot.
Tapi apa jadinya kalau pejabat bicara sembarangan?
Seperti anjing menggonggong di jalanan—berisik, emosional, tapi tanpa makna.
Mengapa Ucapan Pejabat Itu Penting?
- Mewakili Institusi.
Setiap ucapan pejabat publik bukan hanya mewakili dirinya sendiri, tapi juga lembaga, bahkan negara. - Mempengaruhi Kepercayaan Publik.
Satu kalimat salah bisa menghancurkan kredibilitas bertahun-tahun.
Contoh: salah pilih kata tentang ekonomi → investor kabur. - Menjadi Referensi Media.
Media tidak pernah lupa, dan jejak digital abadi.
Sekali salah omong, kutipan itu akan kembali menghantui.
Kesalahan Umum Pejabat Publik Saat Bicara
1. Bicara Emosional
Beberapa pejabat kadang lupa bahwa mereka bukan preman pasar.
Ketika tersinggung → nada meninggi.
Ketika dikritik → keluar kata-kata kasar.
Padahal publik butuh solusi, bukan drama.
2. Bicara Tanpa Data
Omongan kosong, janji manis, atau klaim tanpa dasar sering keluar begitu saja.
Seperti gonggongan anjing: keras, tapi nihil substansi.
3. Bicara Seenaknya di Media Sosial
Twitter/X atau Instagram sering dijadikan ajang show-off.
Padahal, satu postingan sembrono bisa bikin gaduh nasional.
Dampak Fatal Omongan Sembarangan
- Politik: Bisa memicu protes dan demonstrasi.
- Ekonomi: Bisa bikin nilai tukar goyah, IHSG drop, investor panik.
- Sosial: Bisa memecah belah masyarakat, karena rakyat ikut tersulut.
- Hukum: Salah ucapan bisa jadi dasar laporan, bahkan tuntutan hukum.
Contoh Sejarah: Mulut Pejabat, Hancurnya Kepercayaan
- Krisis Moneter 1997/98:
Ucapan beberapa pejabat kala itu justru memperparah kepanikan pasar.
Investor asing melihat ketidakseriusan → capital flight → rupiah kolaps. - Kasus Kontemporer:
Ada pejabat bilang “gaji guru beban negara” (meskipun konteksnya akuntansi), tapi kalimat itu dipelintir publik.
Dampaknya: gaduh nasional, reputasi tercoreng.
Bagaimana Seharusnya Pejabat Publik Bicara?
1. Hati-Hati, Saring Dulu
Sebelum bicara, tanyakan:
- Apakah ini bermanfaat?
- Apakah ada datanya?
- Apakah akan memperkeruh keadaan?
2. Gunakan Bahasa yang Menyejukkan
Rakyat sudah cukup stres dengan hidup. Jangan ditambah stres dengan ucapan kasar pejabatnya.
3. Pisahkan Emosi dari Tugas
Kalau tersinggung pribadi → tahan.
Kalau dikritik → jawab dengan data, bukan makian.
4. Belajar Public Speaking
Tidak semua orang lahir pandai bicara. Tapi pejabat publik wajib belajar seni bicara.
- Intonasi terukur.
- Kalimat singkat, padat, jelas.
- Pesan positif.
Refleksi NKRI.one: Mulutmu Harimaumu
Pepatah lama bilang: “Mulutmu harimaumu.”
Untuk pejabat publik, pepatah itu naik level:
Rakyat tidak butuh pejabat yang bicara kayak anjing menggonggong di jalanan—keras, emosional, tanpa arah.
Yang dibutuhkan rakyat adalah pejabat yang bicara dengan hati, kepala dingin, dan data yang kuat serta bisa dipertanggungjawabkan.
⚖️ Tanggung Jawab Moral dan Hukum
- Moral → Pejabat dibayar dari pajak rakyat. Logisnya, mereka wajib hati-hati saat bicara.
- Hukum → Ada aturan: UU ITE, kode etik ASN, kode etik parlemen. Jadi, bukan hanya etika, tapi ada konsekuensi hukum.
Kesimpulan: Bicara dengan Martabat dan Welas Asih Kalau Bisa
Pejabat publik harus sadar bahwa jabatan = tanggung jawab komunikasi.
Kalau tidak mampu bicara dengan baik, lebih baik diam.
Diam lebih bermartabat daripada asal ngoceh tanpa isi.
Karena pada akhirnya, yang membedakan pejabat dengan preman pasar bukanlah jas yang dipakai, tapi kualitas kata-katanya.
Pepatah lama bilang: anjing menggonggong, kafilah tetap berlalu.
Masalahnya, kalau pejabat publik bicara sembarangan kayak anjing menggonggong, dampaknya bukan sekadar gonggongan — tapi bisa bikin negara pincang.
Perkataan pejabat punya bobot. Kalau ngawur, rakyat yang jadi korban.