Bye Yogyakarta, No Smoking in Malioboro

Saya harus mengatakan “bye Yogyakarta” untuk selamanya kayaknya, walaupun dulu kota ini adalah destinasi wisata favorit saya baik ketika masih single (zaman masih sendiri) maupun ketika sudah punya anak dan istri. Cukup mengagetkan jika ada kebijakan No Smoking di Malioboro, Jogja, yang merupakan salah satu kota yang terkenal ramah bagi semua orang, termasuk perokok.

Walaupun saya merupakan saya satu penikmat asap tembakau, namun memang benar jika saya tidak menikmati asap dari orang lain (LoL), terutama ketika saya sedang bersama anak dan istri, karena saat bersama mereka saya selalu berusaha menjauh ketika saya ingin merokok, dan ketika ada yang berani merokok di dekat mereka, maka muka, wajah, mata, plus tubuh saya mengeluarkan aura yang siap “melakukan apa saja” (“ready for anything“).

Nah, ketika saya sedang melakukan rutinitas menghisap dan mengeluarkan asap, saya ingin tetap dapat mengetahui bahwa mereka baik-baik saja dan jika memungkinkan dapat melihat dan bercanda dengan mereka dari jauh.

Tapi larangan merokok bebas di Malioboro, membuat saya tidak nyaman karena itu berarti saya tidak bisa bersama mereka (anak istri) ketika saya sedang di kawasan merokok.
FYI:
Di salah satu daeler mobil, ada smoking room yang memungkinkan saya melihat dimana istri dan anak saya berada, serta sesekali tersenyum dan bercanda sama mereka.
Jadi kalau kita sedang melakukan servis mobil rutin, saya tidak merasa tersiksa dan anak istri tidak merasa tidak nyaman.

Dampak Larangan Merokok di Malioboro terhadap Wisatawan

Yogyakarta, terkenal dengan Malioboro sebagai jantung wisatanya, baru-baru ini mengimplementasikan larangan merokok yang ketat, memberikan dampak yang signifikan pada pengalaman berwisata.

Selama ini saya kira Jogja adalah kota yang friendly (bersahabat) untuk siapapun, termasuk juga perokok

Pengalaman Wisata Berubah

Larangan merokok di Malioboro, termasuk denda yang cukup besar bagi yang melanggar, telah mengubah dinamika, pengalaman, dan keinginan berwisata di Yogyakarta.

Bagi beberapa wisatawan, khususnya para perokok, kebijakan ini membuat mereka harus mempertimbangkan kembali Yogyakarta sebagai destinasi liburan.

Perokok juga tidak tiap menit merokok, jika di rata-rata sehari habis 1 (satu) bungkus, maka 1 (satu) jam sekali belum tentu para smoker itu menghembuskan asap ke udara.

Dan larangan merokok (no smoking) di area tertentu, tempat tertentu, atau kota tertentu, membuat auto red flag bagi para perokok yang sedang berusaha menghabiskan uang anggaran liburan atau healing wisatanya.

Denda dan Konsekuensi Larangan Merokok di Yogyakarta

Denda yang dikenakan bagi pelanggar larangan merokok dianggap signifikan, baik dari segi nominal maupun dampak emosional.

Ngenes dan enegnya itu lho, kalau kita tidak sedang melakukan sesuatu yang ilegal namun kita kena denda atas sesuatu yang kita tidak seharusnya dihukum, dikenakan denda, dan/atau malah dipidana.

Jangan main-main dengan hukum wahai manusia, jika anda menyusahkan orang lain, apakah anda berpikir anda tidak akan disusahkan (oleh entah siapa) juga?

Larangan Menyusahkan Umat Manusia

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Ya Allah, barangsiapa yang mengurusi urusan umatku kemudian dia merepotkan umatku maka susahkanlah dia.
Dan barangsiapa yang mengurusi urusan umatku kemudian dia memudahkan umatku maka mudahkanlah urusannya.”
(Hadits Riwayat Shahih Muslim, Nomor 1828)

Ya, kalau anda mendapat peringatan dari Nabi masih mentel juga ya monggo aja sih, perokok (seperti saya) juga punya moral, kalau dekat orang, terutama anak-anak, mereka akan menghindar sendiri, kecuali ya mereka sudah duluan ada di situ.

Pilihan Wisata Lain Selain Yogyakarta

Bagi para perokok, ketidaknyamanan karena tidak dapat merokok dan risiko denda menjadi faktor penting dalam menentukan destinasi wisata liburan dan/atau perjalanan bisnis mereka.

Saya pernah berlibur dan hendak mengunjungi beberapa kota ketika liburan di Pulau Jawa bersama keluarga dan kolega, keramahan Yogyakarta membuat kami kemudian memilih kota Jogja sebagai base camp kami, dengan melakukan pembookingan hotel di sana dan kemudian menggunakan mobil sewaan untuk kunjungan ke kota lain di sekitar Jogja.

Tapi larangan merokok (no smoking) di Yogya, membuat kami harus tidak lagi ke Yogyakarta untuk liburan dan/atau bisnis.

Mengecewakan, karena masih banyak hal lain yang perlu diurusi dan mendapat perhatian Pemerintah, seperti kemiskinan dan rendahnya tingkat pendapatan warganya, tapi larangan merokok, yang merupakan salah satu sumber penerimaan negara malah dijadikan prioritas melebihi sorotan terhadap kasus korupsi Kementerian Kesehatan yang sering menjadi tonggak utama pemberantasan rokok.

Karena itu, kita mau tidak mau harus mencari kota lain yang lebih friendly (bersahabat), seperti Solo atau Surakarta misalnya, yang tidak kalah ramah dan unik dibanding Jogja.

Di Solo juga banyak makanan dan masakan khas lokal yang tidak ciut jika dibandingkan kota saingannya itu.

Kalau soal pantai, anda bisa berkunjung ke Lampung untuk mendapatkan pantai yang lebih indah dan lebih aman dari ombak besar seperti halnya laut selatan yang terkenal angker ala Nyi Roro Kidul di Yogyakarta.

Atau jika ingin mencoba sesuatu yang baru, anda bisa berwisata ke hutan untuk menikmati udara segar yang kaya akan oksigen yang berasal dari tumbuhan atau mencoba serunya dikejar Babi Hutan, Macan Kumbang, Beruang, Buaya Buntung, dan/atau Harimau di dalam hutan.

Keluarga dan wisatawan lain bisa mulai mencari destinasi alternatif yang lebih ramah dan bisa mengakomodir semua keinginan anggota travellingnya dengan memiliki kebijakan yang lebih ramah dan tidak membuat rasa antipati untuk kesana seperti halnya kota yang dulunya baik ini.

Indonesia adalah negara yang luas yang menawarkan banyak pilihan destinasi lain yang mungkin lebih sesuai dengan preferensi dan kebutuhan para traveller terutama para “ahli hisap“.

Keberlanjutan Wisata Yogyakarta

Perlu dipertimbangkan bagaimana kebijakan ini akan mempengaruhi pariwisata di Yogyakarta dalam jangka panjang.

Walaupun kemungkinan kita ke Malioboro sangat kecil ketika ke Jogja, tapi sewaktu-waktu, kita juga ingin belanja dan jalan-jalan ke sana kalau iseng saat malam tiba, tapi larangan merokok (no smoking) itu tentunya mengganggu kenyamanan kita juga.

Coba dipikirkan, saya dan anak istri sedang berjalan di Malioboro, apakah saya merokok sepanjangan?
Sementara tangan saya menggandeng anak dan/atau istri.

Ketika mereka sedang berbelanja, memasuki toko, dan/atau pilah pilih barang, baru saya taking a smoke break (merokok sebentar).

Merokok bisa mengurangi saya merasa capek, merasa kesal, dan merasa agresif.

Kesimpulan NKRI One

Larangan merokok di Malioboro telah menyebabkan beberapa wisatawan, terutama perokok, harus berpikir ulang tentang mengunjungi Yogyakarta.

Keputusan ini menunjukkan bagaimana kebijakan lokal dapat mempengaruhi preferensi dan keputusan para wisatawan, menekankan pentingnya kebijakan yang mempertimbangkan berbagai aspek pengalaman berwisata.

Sebagai orang yang terbiasa menyusun peraturan hukum di Indonesia pun saya merasa bahwa kebijakan ini bersifat otoriter tanpa memandang dampak dari diterapkannya peraturan itu sendiri, misalnya dampak jangka panjangnya terhadap pertumbuhan ekonomi di Malioboro secara khusus dan Jogjakarta secara umum (lebih luas)+.

Terima Kasih atas kunjungan dan komentarnya di NKRI One

Populer Bulan Ini
Most Read
Scroll to Top