Mengapa ada hamba Allah yang “alergi” pujian, enggan dicintai, dan lebih memilih untuk memasang “topeng kejahatan” dibandingkan memperlihatkan wajah aslinya?
Simak bagaimana mereka tidak terlalu peduli pendapat dan pandangan dari orang-orang di lingkungan di sekitarnya, karena hanya ridha Allah yang mereka inginkan dan hanya itu yang penting bagi mereka.
Pendahuluan
Ada satu tipe manusia di tengah masyarakat yang sering membuat kita bertanya-tanya:
kenapa dia tampak tidak nyaman ketika diberi apresiasi, dipuji, atau bahkan ketika dicintai?
Ungkapan seperti “disayang nggak mau, dicintai malah kabur” sering terucap dari orang-orang yang pernah bertemu dengannya dan tahu perangainya.
Menariknya, tipe manusia ini justru punya banyak “musuh” atau orang yang tidak suka padanya, hanya karena dia tidak bisa dimanipulasi dan/atau ditaklukkan.
Mengapa demikian?
Ternyata, jawabannya terletak pada niat mereka berbuat kebaikan.
Mereka berbuat baik semata-mata karena Allah, tanpa berharap imbalan, tanpe perlu ucapan terima kasih, atau apapun dari manusia.
Dalam agama Islam, ada konsep “ikhlas” yang menekankan bahwa segala amal hanya tertuju pada Allah.
Ketika seseorang benar-benar menjalankan ikhlas ini, reaksi dari lingkungan sekitar bisa beragam—ada yang kagum, ada pula yang heran, bahkan menjadi antipati.
Artikel ini akan membahas lebih dalam fenomena “hamba Allah” yang enggan mendapat pujian atau balas jasa duniawi.
Mulai dari penjelasan konsep ikhlas dan ridha Allah, bagaimana respons masyarakat terhadap orang dengan karakter unik ini, hingga bagaimana kita dapat memetik pelajaran.
Tentu saja, bahasan ini tidak semata-mata dogmatis.
Kita juga akan mengulasnya dari sudut pandang sosial, psikologis, dan filosofis untuk memberikan gambaran utuh.
1. Memahami Fenomena “Disayang Nggak Mau, Dicintai Kabur”
Mengapa ada orang yang terkesan “menghindar” ketika mendapatkan kasih sayang atau cinta dari orang lain?
Beberapa alasan yang kerap muncul:
- Merasa Tidak Butuh Pengakuan Manusia
Orang semacam ini beranggapan bahwa pujian atau cinta manusia sifatnya fana, sementara cinta Allah kekal.
Dalam Al-Qur’an, Allah sering mengingatkan bahwa segala pujian yang hakiki hanya milik-Nya.
Salah satu contoh ayat yang relevan adalah:
“Sesungguhnya salatku, ibadahku, hidupku dan matiku hanya untuk Allah, Tuhan seluruh alam.’”
(QS. Al-An’am [6]: 162)
Ayat ini menegaskan bahwa seorang Muslim idealnya menujukan segala ibadah—termasuk perbuatan baik—hanya kepada Allah. - Khawatir Tergoda Riya’
Riya’ berarti memamerkan amal kebaikan dengan tujuan mendapat pujian.
Bagi sebagian orang yang benar-benar menjaga keikhlasan, pujian manusia terasa seperti “racun manis” yang dapat merusak kemurnian niat.
Mereka lebih memilih beramal diam-diam dan/atau kabur setelah melakukan kebaikan, agar terhindar dari penyakit hati.
“Sesungguhnya amal yang paling aku takuti atas kalian adalah syirik kecil (riya).”
(HR. Muslim) - Menjaga Hati dari Harapan pada Makhluk
Ketika kita banyak berinteraksi dengan manusia dan menerima cinta atau balas budi, terkadang timbul harapan-harapan baru—ingin dipuji lagi, ingin disanjung lebih.
Bagi si “hamba Allah” ini, hal tersebut justru menjebak.
Mereka lebih baik “kabur” atau menjaga jarak daripada tergelincir dalam ketergantungan emosi pada manusia. - Mengutamakan Kesederhanaan
Ada pula yang menghindari sanjungan karena terbiasa hidup sederhana.
Bagi mereka, sanjungan besar justru terasa berlebihan, bahkan membebani.
Mereka nyaman dengan kehidupan minimalis tanpa sorotan.
2. Mengapa Musuh Mereka Banyak?
Uniknya, orang-orang yang menolak disanjung dan lebih suka berbuat kebaikan senyap ini justru seringkali menuai antipati dari sebagian pihak.
Mengapa bisa demikian?
- Dipandang Sombong atau Menyendiri
Ketika seseorang tidak mau menerima pujian atau cinta manusia, orang-orang di sekitarnya mungkin salah paham, mengira ia “jual mahal,” “merasa lebih suci,” atau “meremehkan” apresiasi orang lain.
Inilah yang kerap memunculkan bibit-bibit konflik. - Membuat Orang Lain Minder
Ada kalanya, seseorang yang sangat ikhlas dan istiqamah justru membuat sebagian orang lain merasa “tidak nyaman.”
Mengapa?
Karena keberadaan orang semacam itu menjadi cermin bagi kekurangan diri mereka, hingga menimbulkan iri atau benci (tanpa alasan yang sah, gila nggak?). - Perbedaan Nilai Hidup
Di zaman sekarang, banyak orang berlomba-lomba mencari popularitas, “like,” dan pujian di media sosial.
Tipe manusia yang tidak peduli dengan semua itu dianggap “aneh” atau “nggak relevan.”
Mereka yang menganggap kepopuleran adalah segalanya, akhirnya menilai si hamba Allah ini “terlalu kolot”, sombong (karena tidak butuh popularitas), dan/atau menyepelekan apa tujuan hidupnya (dan dirinya), lalu memusuhinya.
Padahal ya, namanya tidak satu visi, bukan berarti harus berpandangan sama, setiap orang beda lho.
Contoh:
Kalau semua orang suka Inter Milan, siapa yang suka AC Milan atau Manchester United?
Kalau semua orang suka dan cinta sama lu, udah muka pas-pasan ngerasa cantik pula, wanita lain gimana, yang lebih cantik, yang lebih pinter, dan yang lebih baik??
(Pesan khusus untuk Wanita NPD yang paling doyan membenci hamba Allah tanpa alasan yang sah dan/atau jelas)
KEP: “Buset dah, kalo gw pikir, cantiknya dari mana coba?
Pas zaman dia gadis aja gw gak ngeh (gak masuk radar sama sekali).
Lah apalagi sekarang, bekas + tua pula”
Mungkin anda adalah wanita paling cantik bagi pasangan dan/atau suami anda, tapi sejujurnya, itupun saya ragukan.
(Tanya aja kalo gak percaya, suruh jawab jujut, lol) - Tidak Bisa Dikontrol atau Diatur
Kadang, orang dengan prinsip kuat yang tidak butuh imbalan dunia sulit “diatur” oleh pihak-pihak tertentu.
Lantas, mereka yang ingin memanfaatkan seseorang sering merasa kesal karena tidak bisa menaklukkan “hamba Allah” ini dengan iming-iming, badan, tahta, dan/atau harta.
3. Karakteristik Hamba Allah yang Hanya Mengharap Ridha-Nya
Bagaimana ciri-ciri orang yang benar-benar mengharapkan ridha Allah semata?
- Ikhlas Bekerja tanpa Publikasi Berlebihan
Ia mungkin terlibat dalam kegiatan sosial, berdonasi, atau membantu orang lain diam-diam.
Kalau pun hasil kerjanya ketahuan, ia cenderung mengalihkan pembicaraan. - Tidak Mencari Muka
Dalam hadits disebutkan bahwa di antara tanda keikhlasan adalah tidak peduli apakah orang lain memuji atau mencela.
Ia fokus pada apa yang benar di mata Allah, bukan apa yang populer di mata manusia.
“Barang siapa yang mencari keridhaan Allah meskipun dengan risiko manusia membencinya, maka Allah akan mencukupinya dari (gangguan) manusia.
Dan barang siapa yang mencari keridhaan manusia dengan membuat Allah murka, maka Allah akan menyerahkan urusannya kepada manusia.”
(HR. Ahmad) - Menjaga Keseimbangan Amanah
Meskipun rendah hati, bukan berarti mereka tidak tegas.
Orang yang hanya beramal karena Allah biasanya berani bersikap tegas saat kebenaran terancam, walau itu berisiko membuatnya punya banyak musuh. - Rajin Muhasabah (Evaluasi Diri)
Tipe orang seperti ini kerap memeriksa kondisi hatinya.
Mereka khawatir kalau-kalau muncul sedikit riya’ atau “ingin dipuji.”
Karenanya, mereka lebih senang menutupi amal kebaikan yang mereka lakukan.
Walaupun risikonya ya:
– Ada teman yang menasihati soal sedekah. T_T
– Bapak yang menyuruh untuk sering-sering baca Al-Quran, walau satu ayat. T_T
– Teman yang menyampaikan kajian ustad sesat (ulama dunia), untuk saya telan mentah-mentah.
4. Perspektif Psikologis: Benarkah “Alergi” Cinta?
Dari sudut pandang psikologi, seseorang yang tidak nyaman disayangi atau dipuji kadang dikaitkan dengan low self-esteem (rendah diri) atau trauma masa lalu.
Namun, berbeda halnya dengan orang yang benar-benar mengabdi kepada Allah.
Mereka menolak pujian bukan karena trauma, melainkan karena yakin, hanya pujian dari Allah yang penting.
- Distingsi Penting:
- Trauma atau fobia sosial: Orangnya takut disorot karena pengalaman buruk, merasa tidak berharga.
- Keyakinan Religius: Orangnya memang paham betul bahwa pujian dan cinta manusia itu fana, sehingga memilih menjauh dari sorotan.
- Trauma atau fobia sosial: Orangnya takut disorot karena pengalaman buruk, merasa tidak berharga.
Bagi “hamba Allah” yang ikhlas, cinta manusia tidaklah salah.
Namun, mencarinya atau menjadikannya sebagai motivasi utama, bisa menjadi pintu masuk setan (menumbuhkan riya’, sum’ah, dan ujub).
Karena lebih baik mencegah daripada mengobati, mereka selalu alert dan waspada, sehingga lebih senang sembunyi, kabur, dan/atau menghilang.
Tapi saat dibutuhkan, bukan sebagai pajangan, mereka akan selalu ada (inshaa Allah sih, tiket mahal sekarang, sementara jet pribadi belum dikasih Allah).
5. Pandangan Filosofis: Kebaikan Tanpa Pamrih
Dalam tradisi filsafat, kebaikan tanpa pamrih juga dibahas sebagai salah satu puncak “virtue” (kebajikan).
Misalnya, pemikiran Immanuel Kant tentang “good will” menggarisbawahi bahwa perbuatan baik yang benar-benar bermoral adalah perbuatan yang dilakukan demi kebaikan itu sendiri, bukan demi hasil sampingan (seperti pujian).
Hal ini sejalan dengan tuntunan agama Islam tentang keikhlasan:
berbuat baik karena kebaikan tersebut diperintahkan oleh Allah, bukan demi pujian, balas jasa, atau motif tersembunyi.
6. Bagaimana Menyikapi Mereka yang “Menolak” Apresiasi?
- Hargai Niat dan Prinsipnya
Jika seseorang tidak mau dipuji atau diberi balas jasa, jangan memaksanya menerima.
Berterima kasihlah secara wajar, tanpa berlebihan, karena itu tetap bagian dari akhlak yang baik.
Namun, pahami bahwa mereka memang tidak ingin pujian terus menerus dan/atau anda terus-terusan berterima kasih padanya (bosen tau). - Belajar dari Keikhlasannya
Mungkin kita bisa belajar untuk memurnikan niat.
Bukan berarti kita tidak boleh menerima pujian sama sekali, tapi kita latih hati untuk tidak bergantung pada pujian. - Jangan Menghakimi “Sombong”
Kadang kita tergoda berpikir, “Ih, sok suci, nggak mau terima ucapan terima kasih”.
Padahal, bisa jadi mereka benar-benar tulus tanpa mengharapkan apapun bahkan tidak pula kata terima kasih.
Jangan sampai salah sangka. - Tetap Jalankan Interaksi Sosial Sehat
Walau mereka tidak ingin dipuji, bukan berarti kita berhenti berbuat baik kepada mereka.
Misalnya, kita tetap boleh membantu di saat mereka membutuhkan, dengan niat saling tolong-menolong dalam kebaikan.
7. Hikmah dan Nilai Positif
Orang semacam ini, di luar kesan “aneh” atau “tak butuh cinta”, menyimpan banyak nilai positif:
- Menjadi Teladan Keikhlasan
Dunia sekarang penuh pencitraan, di mana banyak orang haus akan “pengakuan”.
Kehadiran orang yang tidak silau pada pujian justru jadi penyeimbang moral. - Mengajarkan Ketulusan
Tipe manusia ini mengingatkan kita bahwa kebahagiaan sejati bukan bersumber dari tepuk tangan manusia, melainkan dari ketentraman hati saat merasa dekat dengan Pencipta. - Melatih Kemandirian Emosional
Mereka mengajarkan bahwa kita bisa mencintai dan membantu orang lain tanpa terjebak
ekspektasi imbalan.
Hidup jadi tenang karena tidak berurusan dengan kecewa atau sakit hati.
8. Bagaimana Jika Kita Sendiri Mengalami Fenomena Ini?
Jika kita merasa “disayang nggak mau, dicintai kabur”, jangan kabur dan/atau menghilang, meninggalkan orang yang mengharapkan kehadiranmu dalam posisi awkward.
Berikut beberapa tips:
- Pertegas Niat
Selalu ingatkan diri sendiri mengapa kita berbuat baik.
Apakah benar-benar karena Allah atau terbersit sedikit keinginan dipuji?
Jika ada keinginan dipuji, evaluasi dan kembalikan fokus pada ridha-Nya. - Tetap Jaga Adab Sosial
Boleh saja menolak hadiah atau pujian, tetapi sampaikan dengan bijak.
Jangan sampai orang lain tersinggung.
Misalnya, kita bisa bilang, “Terima kasih, saya orang baik-baik, saya tidak butuh tubuh anda (lol)” - Bersiap Punya Lawan atau Musuh
Seperti dijelaskan sebelumnya, beberapa orang akan salah paham atau iri.
Yakini saja, selama kita yakin dalam kebenaran, penilaian manusia tidaklah mutlak. - Bersyukur Ketika Bertemu Orang Serupa
Carilah lingkungan yang mendukung nilai-nilai keikhlasan.
Bergabunglah dengan komunitas yang memupuk sikap tawadhu’ (rendah hati) dan gotong royong tanpa pamrih.
9. Relevansi dengan Kehidupan Modern
Di era media sosial, fenomena “disayang nggak mau, dicintai kabur” makin tampak kontras. Kala orang lain gencar mem-branding diri, membuat “personal brand,” dan mengejar pengikut (followers), tipe hamba Allah yang ikhlas cenderung tak tertarik.
Tentu saja, ini bukan berarti media sosial itu buruk.
Hanya saja, tidak semua orang nyaman menjadikan pujian publik sebagai “aset.”
Banyak pula orang sukses yang tetap low profile.
Mereka membuat akun media sosial hanya secukupnya untuk hal-hal penting, tanpa gembar-gembor pencapaian pribadi.
Ada juga lembaga amal yang menggalang dana sembari menjaga privasi donaturnya.
Semua ini menunjukan bahwa masih ada ruang bagi orang-orang yang tidak ingin disorot, tetapi tetap berbuat kebaikan.
Kesimpulan
“Disayang nggak mau, dicintai kabur, makanya musuh kamu banyak.”
Pernyataan ini menggambarkan fenomena unik orang-orang yang tak menginginkan terima kasih, balas jasa, atau cinta manusia semata.
Mereka melakukannya hanya karena Allah—mungkin karena takut riya’, ingin menghindari ketergantungan pujian, dan/atau memang punya prinsip teguh soal keikhlasan.
Meskipun tampak “sulit didekati” dari sudut pandang orang biasa, keberadaan mereka justru menegaskan bahwa masih ada sosok yang benar-benar menomorsatukan ridha Allah, bukan validasi dan/atau pujian dari manusia.
Tak jarang, mereka malah mendapat musuh, sebab banyak yang tidak memahami jalan pikirannya.
Bagi kita yang menyaksikan, tak ada salahnya mencoba belajar—bahwa tidak semua kebaikan butuh tepuk tangan, dan tidak semua cinta manusia mampu menggantikan cinta Allah yang tanpa batas.
Pada akhirnya, jika kita ikhlas, kritik dan sanjungan manusia sama-sama tidak menggoyahkan hati.
Kita hanya butuh ridha dan cinta-Nya, karena itulah yang sangat berarti dalam kehidupan kita.
Semoga artikel ini menambah wawasan kita tentang makna ikhlas dan mengapa sebagian orang lebih memilih jalan “sunyi” dalam berbuat kebaikan.
Saatnya kita introspeksi: sudahkah niat kita lurus?
Adakah kita berharap pujian atau sekadar menuntaskan kewajiban?
Wallahu a’lam bisshawab.