Negara Hancur, Mau Pindah Tidak Bisa (Cuma Bisa Sabar dan Ketawa)
Melihat negara hancur dari dalam itu sebenarnya sebuah berkah tersendiri, meskipun terdengar ironis.
Kita bisa belajar banyak tentang betapa ego manusia bisa menghancurkan sistem yang seharusnya berjalan baik, hanya demi uang, kekuasaan, dan jabatan.
Korupsi merajalela, kebijakan tidak masuk akal, dan keadilan hanya sekadar jargon kosong.
Tapi apa kita bisa pindah? Tidak.
Kenapa?
Karena ini rumah kita.
Ini tanah kita.
Keluarga kita ada di sini.
Dan seberapa buruk pun keadaannya, hati kita tetap terikat dengan bangsa ini.
Memikirkan opsi pindah ke luar negeri memang terdengar menarik, tetapi kenyataannya jauh lebih kompleks.
Pindah ke Luar Negeri? Gampang di Teori, Mustahil di Praktek
Misalkan saya egois dan memilih pindah keluar negeri.
Oke, saya bisa saja mencari kesempatan di negara lain, tetapi bagaimana dengan keluarga saya?
- Ajak istri dan anak?
- Lalu ibu saya bagaimana?
- Bapak saya?
- Mertua saya?
- Adik saya dan keluarganya?
- Keluarga suami dari adik saya?
- Keponakan saya?
Satu orang bisa pindah, tapi bagaimana dengan semua orang yang kita pedulikan?
It is basically impossible to run away from this country.
Kita tidak tega meninggalkan mereka.
Kita tidak bisa, dan jujur, kita juga tidak mau.
Karena pada akhirnya, ke mana pun kita pergi, kita tetap orang Indonesia.
Dan mari realistis.
Pindah ke luar negeri bukan sekadar packing koper dan terbang.
Ada banyak faktor:
- Legalitas: Urusan visa dan izin tinggal.
- Keuangan: Biaya hidup di negara maju jauh lebih mahal.
- Bahasa & Budaya: Beradaptasi di lingkungan baru tidak mudah.
- Lingkungan Sosial: Kehilangan support system dari keluarga dan teman.
Jadi, bagi sebagian besar rakyat Indonesia, opsi terbaik bukan kabur, tapi bertahan.
Negara Ini Sudah Rusak dari Akar, Jadi Perbaikannya Harus dari Bawah
Ada yang bilang kalau ingin memperbaiki negara, kita harus mulai dari atas—dari para pemimpin dan pejabatnya.
Tapi kalau melihat kondisi sekarang, rasanya kerusakan itu sudah mengakar sampai ke level bawah.
Bahkan di kalangan rakyat biasa, korupsi dan mentalitas mencari “jalan pintas” sudah menjadi kebiasaan.
Mau bukti?
- SIM bisa “dibantu” tanpa tes (asal bayar lebih).
- Anak bisa masuk sekolah favorit dengan “jalur khusus”.
- Proyek bisa lolos kalau “ada amplop”.
- Pungli di mana-mana, bahkan di sektor kecil sekalipun.
Jadi, dari mana memulai perubahannya?
Dari diri kita sendiri.
Klise? Mungkin.
Tapi ini satu-satunya cara yang bisa kita lakukan sekarang.
Kalau kita sendiri tidak mau korupsi, tidak mau suap, dan berusaha jujur dalam pekerjaan kita, itu sudah satu langkah menuju perubahan.
Karena kalau semua orang berpikir, “Ah, cuma saya sendiri yang jujur, ngaruhnya apa?” maka tidak akan ada perubahan sama sekali.
Bayangkan jika semua orang berpikir sebaliknya:
- Jika saya jujur, saya bisa menjadi contoh bagi orang lain.
- Jika saya bekerja dengan integritas, orang lain akan segan untuk berbuat curang.
- Jika saya tidak menerima suap, saya tidak akan melanggengkan sistem yang bobrok.
Perubahan tidak akan terjadi dalam semalam.
Tapi kalau tidak mulai dari sekarang, sampai kapan pun kita akan terus terjebak di lingkaran yang sama.
Uang Rakyat: Digunakan untuk Kemajuan atau Dihamburkan?
Saya menyaksikan sendiri bagaimana anggaran negara dihamburkan untuk hal yang tidak perlu.
Misalnya:
- 200 juta untuk satu acara hotel.
- Sekali acara = triliunan rupiah habis begitu saja.
- Dinas ke luar kota yang sering kali hanya jadi “liburan terselubung”.
Sekarang coba hitung.
Kalau ada 1.000 unit kerja yang masing-masing menghabiskan Rp 200 juta untuk acara tak penting, itu berarti Rp 200 miliar hilang dalam satu kali acara.
Lalu bayangkan kalau ini terjadi berulang kali dalam setahun.
Uang yang seharusnya bisa digunakan untuk membangun sekolah, memperbaiki jalan, atau meningkatkan fasilitas kesehatan malah masuk ke kantong para pejabat dan kroni-kroninya.
Saat pemerintah bicara tentang efisiensi anggaran, seharusnya itu berarti uang negara dialokasikan untuk hal-hal yang benar-benar penting, bukan untuk memperkaya segelintir orang.
Dan ironisnya, ketika rakyat protes, kita malah dianggap sebagai pihak yang “tidak bersyukur”.
Luar biasa, bukan?
Untuk Apa Korupsi Kalau Kita Bisa Mati Kapan Saja?
Salah satu hal yang paling saya tidak mengerti adalah kenapa orang masih mau berbuat curang atau korupsi seolah-olah mereka akan hidup selamanya.
Tidakkah mereka sadar bahwa mereka bisa mati kapan saja?
- Hari ini sehat, besok kena serangan jantung.
- Hari ini makan mewah, besok kecelakaan.
- Hari ini punya uang miliaran, besok stroke dan tidak bisa menikmatinya.
Apa gunanya menimbun kekayaan dengan cara curang kalau akhirnya tidak bisa dibawa mati?
Saya selalu berpikir bahwa setiap tindakan saya akan saya pertanggungjawabkan kepada Allah.
Itu sebabnya saya takut melakukan hal-hal yang tidak bermanfaat, apalagi yang jelas-jelas merugikan banyak orang.
Tetapi saya kagum, karena manusia korup ternyata tidak sadar bahwa mereka hanya manusia biasa.
Mereka bertingkah seolah-olah mereka kebal dari penyakit, kebal dari kematian, dan akan menikmati uang haram mereka selamanya.
Padahal, di akhir hidup mereka, mereka tidak akan bisa membawa sepeser pun.
Kesimpulan: Ketawa Aja, Sabar Aja
Jadi, kalau melihat keadaan negara yang makin bobrok ini, kita bisa apa?
Kita ketawa aja, sabar aja. Karena:
- Mau pindah negara?
Mustahil. Keluarga kita di sini. - Mau protes?
Bisa-bisa kita malah kena masalah. - Mau ikutan korupsi?
Nggak. Kita masih takut sama Tuhan. - Mau nyerah?
Juga nggak. Karena ini negara kita, kita punya harapan.
Kita mungkin tidak bisa mengubah negara ini dalam waktu singkat.
Tapi selama kita masih hidup di sini, kita harus tetap bertahan.
Caranya?
- Tetap jadi orang baik.
- Jangan ikut-ikutan korupsi atau curang.
- Jadilah contoh bagi orang lain.
- Jangan biarkan sistem busuk ini mengubah kita menjadi busuk juga.
Karena kalau kita sendiri menyerah, maka tidak akan ada yang tersisa untuk diperjuangkan.
Jadi, mari kita jalani hidup dengan sabar, ketawa aja, dan tetap berpegang teguh pada nilai yang benar.
Karena meskipun negara ini hancur, integritas kita tidak boleh ikut hancur.