Evalynn, The High Value Woman

Evalynn adalah sosok yang langka. Dalam arti duniawi, dia benar-benar seorang hamba Tuhan yang taat. Dia begitu berkomitmen dengan imannya, rajin pergi ke gereja, aktif dalam paduan suara gereja, dan selalu menunjukkan kebaikan hati yang tulus.

Meskipun berbeda keyakinan—Evalynn seorang Kristen dan saya Muslim—kami memiliki hubungan yang nyaman, hubungan tanpa status, tanpa label formal.
Hubungan yang membawa rasa tenang satu sama lain, saling menghormati tanpa ada harapan untuk melewati batas satu sama lain (or so I thought).

Sebuah Hubungan Tanpa Status

Perbedaan agama kami, anehnya, bukan penghalang, untuk berteman, dia sering menghubungi saya dan saya pun kadang menghubunginya.

Ingat, secara standar, saya adalah orang yang introvert dan pemalu, jadi tidak mungkin saya memulai sesuatu duluan.

Namun, bersama Evalynn, saya merasa nyaman, karena dengan perbedaan agama itu, tidak mungkin ada hubungan lope-lope di antara kami, atau begitulah yang saya kira di awal pertemanan kami.

Evalynn bukanlah salah seorang mantan pacar saya, dan tidak ada intent (niat) untuk itu, walau dalam perjalanan waktu (saat itu), kami mempunyai hubungan yang membuat kata “pacaran” tampak seperti kata-kata iklan di papan reklame yang tampak pudar,

Karena itu, koneksi kami semakin dekat, sebuah hubungan tanpa status yang memungkinkan kami merasa nyaman satu sama lain.

Waktu senggangnya hanya untuk saya, dan saya tidak punya keinginnan untuk berjalan dengan wanita selain dirinya.

Saya menghargai dinamika ini—sebuah ikatan di mana kenyamanan lebih penting daripada formalitas.

Evalynn menghormati keyakinan saya, yang hanya memperdalam rasa hormat saya padanya, dan saya rasa sikap saya terhadap keyakinannya pun memberinya rasa nyaman yang sama.
(setengah keluarga besar saya adalah non muslim, jadi saya tidak terlalu muslimisme, atau saklek membenci orang agama lain)

Perhatian yang Tulus dari Evalynn

Evalynn sering menunjukkan perhatian dengan cara yang sederhana, tapi penuh makna.

Evalynn sangat baik kepada kita, sering mengunjungi kediaman kita dengan berbagai alasan, termasuk ketika dia ulang tahun, dia membawakan kita sisa Kue Ulang Tahun dari rumahnya.
Bukan sisa banget sih, karena cuma dipotong satu, dan “sisanya” dia bawa ke tepat dimana saat itu kita tinggal, lengkap dengan piring keramik dan pisau mahalnya.

Meski berasal dari keluarga berada (super kaya in fact, nanti saya ketahui belakangan), dia tak pernah bertujuan memamerkan kekayaannya; dia hanya senang berbagi momen.

Kini, jika saya merenungkan kembali, Evalynn menunjukkan kepedulian yang mungkin dulu belum sepenuhnya saya sadari, meski sekarang saya paham betapa berartinya hal itu.

Undangan dan Jalan-Jalan Bersama Evalynn

Dia juga suka mengajak kami, via teman-teman kami, seperti Nina untuk mengajakku jalan-jalan, dengan alasan yang dikatakan Nina bahwa “Nina yang ngajak, bukan dia (Evalynn)“.

Nina dan pasangannya, M (nama disamarkan LoL), akan menunggu di tempat saya,
tidak lama kemudian Evalynn akan datang, memarkirkan mobilnya di halaman, lalu keluar dengan kepolosan khasnya, Evalynn berpura-pura seolah rencana itu bukan idenya, bertanya, “Mau kemana kita hari ini Krisna?“.

Saya hanya tersenyum, mengikuti permainannya, karena Nina sudah menginfokan bahwa sebenarnya yang mengajak jalan adalah Evalynn, da menjawab, “Nggak tau, kamu mau ke mana, Lynn?”

Ke sini, ke sana, lalu muter-muter, sudah itu ke sono yuk“, katanya, sebuah rencana yang sangat jelas untuk orang yang 10 detik sebelumnya bertanya “Kita mau kemana?“.

Saya hanya tersenyum, lalu berjalan masuk ke tempat dimana M dan Nina sudah menunggu yang sebelumnya hampir tidak pernah berhenti meledek saya selama Evalynn belum datang tadi.

Dia akan mengajak kami jalan dan makan entah ke mana, biasanya akhirnya ke sebuah tempat karaoke ternama (anak anjing bahagia) yang ternyata merupakan milik keluarganya, kami hanya berempat tapi bernyanyi di ruangan yang super luas dan terlihat paling mahal di tempat itu.
Saya tidak pernah melihatnya membayar apapun, ketika melangkah menuju kasir, dia hanya akan bilang, “Kayaknya sudah dibayar, yuk“, sembari mengajak kami meninggalkan tempat manapun yang kami datangi bersamanya.

Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan?
(Q.S. Ar-Rahman:13)

Saat ada yang bertanya, dan mencecarnya kenapa kami tidak bayar,
dia akan tertawa canggung, mengatakan tempat itu milik saudaranya, seolah tidak ingin membuat kami merasa canggung atau melihat dirinya sebagai orang yang berada jauh di atas level kami.

Evalynn tampak menikmati menciptakan suasana nyaman bagi dirinya dan orang-orang yang dia sayangi.

Kerendahan hatinya terlihat dari setiap tindakannya, menunjukkan niat tulus untuk membuat orang di sekitarnya merasa nyaman berteman dengannya.

Kunjungan ke Rumah yang Membuatku Mundur

Ada satu momen ketika dia mengundang saya ke rumahnya, yang memperlihatkan sisi kehidupannya yang sama sekali tidak pernah saya bayangkan.
Rumahnya begitu besar, lebih megah dari apa pun yang pernah saya lihat, bahkan di film atau sinetron.
Begitu saya sampai di depan rumah, pemandangan deretan mobil sport dan Jaguar di garasi langsung membuat saya “mundur 3 (tiga) petak“.

Perasaan tidak nyaman itu membuat saya meneleponnya dari depan rumahnya, “Evalynn, saya sudah sampai di depan rumahmu. Ini benar rumahmu?

Dengan suara lembut dan lembut, dia menjawab, “Iya, Krisna. Tunggu sebentar ya, saya akan keluar.

Namun, berdiri di sana, saya menyadari bahwa level kekayaan ini jauh di luar akal saya.
Dengan cepat, saya langsung mengatakan, “Tidak perlu Evalynn, aku pulang saja ya.” , membelokkan motorku pulang.
Sepanjang perjalanan pulang, tangan saya gemetaran, kaki saya lemas, entah apa yang ada di pikiran saya.
Entah berapa kali dia meneleponku malam itu.

Masuk ke lingkungan perumahannya saja sudah menjadi pengalaman tersendiri. Penjaga keamanan memeriksa saya dari ujung kepala hingga kaki, bertanya berkali-kali apakah saya benar datang untuk bertemu “Non Evalynn.”

Walaupun saya menunjukkan ID dan “Kartu Tanda Pengenal Sakti” yang harusnya bisa masuk kemanapun, tapi itu tidak berarti apapun di komplek perumahan ini, yang belakangan baru saya ketahui bahwa rumah terdepan di komplek itu adalah milik Kapolri (ya, milik Kepala Kepolisian Republik Indonesia, bukan hanya Polisi biasa).
Dan rumah Evalynn ini di depan, sekitar 100 meter dari Rumah Kapolri ini, dan itu bukan karena banyak rumah di antara rumah mereka, tapi karena memang tanahnya luas-luas dan rumahnya besar-besar melebihi akal.
Tempat ini bukan level perumahan biasa, dan kekayaan serta keamanan di sini jelas berbeda.

Evalynn juga memiliki koneksi dengan beberapa Jenderal Militer, kemungkinan karena keluarganya terlibat dalam kontraktor militer.
Koneksi ini memberinya banyak kesempatan dan gaya hidup yang, bisa dibilang, berbeda jauh dari saya.
Namun, dia tidak pernah menonjolkannya, Evalynn selalu berusaha tampil sederhana, walau pernah satu atau dua kali dia lupa mengganti pakaian kerjanya, dan memakai setelan (suit) ketika ke tempat saya.
Tapi dia tidak pernah sombong (sama saya) dan/atau memamerkan kekayaannya sama sekali, membuat saya berpikir kalau dia orang biasa.

Pernah suatu ketika, saya meneleponnya, karena teman saya yang anggota TNI memerlukan suatu kuota untuk bergabung dengan Pasukan UN, dia hanya bilang “gampang itu” dan dengan ringannya mengatakan “Jalan yuk Krisna“, walau kami sudah tidak berkomunikasi selama bertahun-tahun dan walaupun kata terakhirnya yang dia katakan pada saya adalah “kayak binatang dan tidak punya hati”, ketika kami berpisah beberapa tahun sebelumnya,

Memilih Jalan Hidup Sendiri

Merenungkan hubungan saya dengan Evalynn, saya tahu bahwa segala sesuatunya bisa saja berjalan berbeda.

Jika saja saya lebih materialistis atau bersedia menerima semua keistimewaan dari dunianya, mungkin hidup saya sekarang akan sangat berbeda.
Tapi itu bukan yang saya inginkan.

Koneksi kami, bagi saya, bukan tentang semua materi yang ada bersama namanya, tapi lebih ke rasa nyaman saya melihat senyum lugunya, kebaikannya, dan bagaimana dia menyembunyikan perasaan halusnya.

Evalynn, dengan sikapnya yang tenang dan rendah hati, selalu berhati-hati menunjukkan sisi hidupnya yang luar biasa.
Mungkin dia merasakan bahwa saya lebih suka hidup sederhana, atau mungkin dia takut saya akan tergiur karena menilai dunianya.
Kedua anggapan yang salah, karena saya memutuskan untuk pergi darinya, karena tidak mau menempatkannya dalam posisi yang sulit, karena saya adalah orang biasa, bukan orang yang jauh dari kata biasa seperti dirinya dan keluarganya.
Bagaimanapun juga, dia selalu tulus, tidak pernah sombong, selalu ingin membuat orang di sekitarnya merasa nyaman dengan kehadirannya yang sering terlihat kikuk dan sangat malu-malu (irit bicara di depan orang lain).

Dalam kehidupan lain, mungkin segala sesuatunya bisa berbeda.
Saya mungkin saja bertahan, mungkin juga bisa terbiasa dengan dunia itu.
Namun pada akhirnya, saya memilih jalan yang lain.
Evalynn, dengan segala kebaikan dan ketulusannya, akan selalu mendapat rasa hormat saya, meskipun hidup membawa kami ke arah yang berbeda.

Terima Kasih atas kunjungan dan komentarnya di NKRI One

Most Read
Scroll to Top