Apa? Kita Bukan yang Pertama??

Apa? Kita Bukan yang Pertama??

Terkadang, jika kita menemukan fakta bahwa kita bukan yang pertama, itu bisa membuat kita merasa tidak sespecial yang kita kira.

We’ve been fooled.
Kita pikir, segala yang kita lakukan, semua pengorbanan, adalah bagian dari perjalanan istimewa.

Namun, ketika kita menyadari bahwa kita bukan yang pertama, semuanya seolah berubah.

Tapi, apakah itu berarti apa yang telah kita lakukan tidak berarti, sia-sia, dan tidak seberharga itu?

Terjebak dalam Ilusi?

Si Bashirah (B) dengan santainya mengatakan: “Kalau kami tidak menyembunyikan fakta ini, apa kamu mau melakukan pekerjaan kotor seperti itu?”
Itu seperti menampar kenyataan ke wajah kita.
Kita merasa telah melakukan pekerjaan gila—hal-hal yang mungkin tidak semua orang mampu lakukan.
Tapi, ternyata… kita tidak seistimewa itu, karena faktanya, kita bukan yang pertama?

Dan Qarin (Q) dengan santai menuju malasnya menimpali, “Pake logika aja,”
itu seperti menyadarkan kita betapa sebenarnya hal itu sudah kita sadari sebelumnya, tapi kita yang kadang terlalu lugu (bahasa lain bodoh) menganggap semua itu hanya ilusi untuk tidak menghentikan apa yang sedang kita perjuangkan saat itu.

Kenapa kita tidak berpikir bahwa sebelum kita, mungkin sudah ada yang melakukan hal yang sama dan/atau mendapatkan privilege hampa yang kita dapatkan (seperti seolah itu special)?
Kita tidak sespesial itu, dan itu adalah fakta yang membuat kita terdiam sejenak lalu tertawa senang, karena sudah dibodohi Tuhan, lagi.

Reaksi Pertama: Shock dan Tak Percaya

K: “But that’s still crazy! We’ve been doing crazy things, but we never thought that this was the fact.

Kita sudah melakukan banyak hal yang tidak biasa.
Kita telah mengerjakan hal-hal yang kalau dipikir sekarang terkadang terasa tidak standar dan tidak masuk akal kita mau melakukannya, hanya untuk menyadari bahwa… kita tidak se-istimewa Daerah Istimewa Yogyakarta?
Bahwa mungkin sudah ada yang datang sebelum kita, tanpa melakukan pekerjaan yang sama, tanpa menghadapi tantangan yang sama, tapi dapat hadiah yang sama.

Rasanya seperti sia-sia.
Segala yang kita lakukan seolah menjadi tidak penting.
Apa gunanya melakukan semua ini jika kita bukan yang pertama?

Namun, Tanggung Jawab Tetap Ada

Meskipun fakta ini menyakitkan, kita tidak tega meninggalkan manusia hanya karena alasan ego atau perasaan “tidak istimewa”.

Kita, biasanya, akan stay selama mungkin, hingga kita tidak dibutuhkan lagi.

Hamba Allah tidak boleh mendahulukan ego, harga diri, atau kehormatan di mata manusia.
Rasa tanggung jawab kita lebih besar dari sekadar perasaan personal.

Hamba Allah ada untuk menyelesaikan tugas yang diberikan.
Kita tidak dipilih karena kita spesial, tetapi karena Allah tahu bahwa kita mampu menjalankannya.
Kita tidak boleh terjebak dalam perasaan kecewa atau merasa tidak dihargai, apalagi hanya karena kita menemukan fakta bahwa kita bukan yang pertama.

Mengutamakan Tugas di Atas Ego

Pada akhirnya, kita harus mengingat bahwa menjadi hamba Allah berarti menempatkan tugas di atas segala bentuk ego.

Tidak peduli seberapa kecil peran kita, atau seberapa sering kita merasa seperti bayangan dari yang sebelumnya, tugas kita tetap harus dijalankan dengan sepenuh hati.

Harga diri kita tidak berasal dari pengakuan manusia, melainkan dari keyakinan bahwa kita melakukan apa yang Allah perintahkan.

Allah berfirman dalam Al-Qur’an, tentang pentingnya menyelamatkan kehidupan:

“Barangsiapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan di muka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh seluruh manusia.
Dan barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seakan-akan dia telah memelihara kehidupan seluruh manusia.”
(QS. Al-Ma’idah: 32)

Ayat ini mengingatkan kita betapa pentingnya menyelamatkan satu jiwa.
Tugas yang kita jalankan, meskipun tidak istimewa menurut kita, bisa jadi memiliki dampak yang sangat besar, bahkan setara dengan menyelamatkan seluruh umat manusia.

Menolong satu orang bisa menjadi tindakan kebaikan yang luar biasa, yang mungkin tidak kita sadari sepenuhnya pada saat itu.

Rasulullah ﷺ juga bersabda tentang kelembutan hati dan menolong orang lain:

“Allah itu Maha Lembut dan menyukai kelembutan dalam segala urusan.”
(HR. Muslim)

“Barangsiapa yang meringankan satu kesulitan dunia dari seorang mukmin, maka Allah akan meringankan satu kesulitan dari dirinya pada hari kiamat.
Barangsiapa yang memudahkan orang yang sedang kesulitan, maka Allah akan memudahkan dirinya di dunia dan akhirat.”
(HR. Muslim)

Dari hadith ini, kita diajarkan bahwa menolong orang lain dan meringankan beban mereka adalah salah satu tugas utama seorang hamba Allah.

Tidak peduli seberapa besar atau kecil bantuan yang kita berikan, jika itu bisa meringankan kesulitan seseorang, maka Allah akan membalasnya dengan kebaikan di dunia dan akhirat.

Kesimpulan: Bukan yang Pertama

Menjadi hamba Allah bukan berarti kita harus selalu menjadi yang pertama, atau yang paling istimewa.

Kadang, kita hanya bagian dari rantai panjang tugas-tugas yang harus diselesaikan.

Kita tidak bisa mendahulukan ego, dan meskipun kita mungkin merasa tertipu atau tidak dihargai, tugas kita tetap harus dilaksanakan.

Hamba Allah tidak memilih mundur karena merasa tidak spesial, melainkan karena kesetiaan kepada Allah dan tanggung jawab yang telah diberikan.

Pada akhirnya, meskipun kita bukan yang pertama, kita tetap di sini.
Kita tetap menjalankan misi yang telah diberikan, dengan kesadaran bahwa harga diri kita tidak berasal dari manusia, tetapi dari Allah yang mengetahui segalanya.

Terima Kasih atas kunjungan dan komentarnya di NKRI One

Most Read
Scroll to Top