Hobi Hamba Allah: Memungut Sesuatu yang Jatuh

Hobi Hamba Allah: Memungut Sesuatu yang Jatuh

Ada seorang Hamba Allah yang memiliki kebiasaan yang bisa dibilang aneh, tapi juga mengandung makna yang mendalam.

Dia tidak terlalu peduli dengan hal-hal di sekitarnya selama semuanya berada di tempatnya masing-masing dan kehidupan berjalan normal.

Namun, ketika dia melihat sesuatu terjatuh—entah itu kelereng kecil atau benda remeh lainnya—hamba Allah ini dengan sigap memungutnya, memeriksa apakah ada bagian yang pecah, lecet, dan/atau cacat, lalu menaruhnya kembali ke tempatnya.

Yang menarik adalah, setelah tindakan sederhana itu, dia kembali menjadi dirinya yang cuek, seolah tidak terjadi apa-apa.

Dia tidak mencari perhatian, tidak berharap ada yang memperhatikan tindakannya. Itu adalah bagian dari kebiasaannya—melakukan hal-hal yang seharusnya dilakukan, lalu melanjutkan hidup tanpa ada keinginan untuk dipuji atau diakui.

Namun, cerita menjadi lebih menarik ketika hamba Allah ini mencoba menolong seseorang yang bisa melihatnya.

Hamba Allah, yang pada dasarnya tidak pernah mengharapkan terima kasih atau pengakuan dari manusia, mendapati dirinya terlibat dalam situasi yang membuatnya hampir melupakan pelajaran terbesar dari Allah—kesabaran.

1. Memungut yang Jatuh: Simbol Kepedulian yang Tanpa Pamrih

Hamba Allah ini tidak menganggap penting pujian atau perhatian atas tindakannya.

Setiap kali dia memungut sesuatu yang jatuh untuk kemudian ditaruh kembali di tempat semula atau tempat yang lebih baik, dilakukannya sebagai suatu kebiasaan yang kadang dilakukan tanpa disadari risikonya.

Tindakan itu mungkin tampak kecil bagi banyak orang, tetapi bagi hamba Allah ini, itu adalah refleksi dari kepedulian dan kebaikan, sebagaimana yang Allah lakukan kepadanya.

Itu bukanlah jenis kepedulian yang ingin ditunjukkan kepada dunia untuk mendapatkan apresiasi, melainkan bentuk tanggung jawab moral untuk memperbaiki sesuatu yang terlihat jatuh, yang mungkin lecet, yang mungkin rusak, yang mungkin terlihat tidak berada di tempatnya, dan/atau yang mengganggu matanya.

Mungkin itulah yang membuatnya rela menolong seseorang yang sedang mengalami kesusahan.

Dalam pikirannya, seperti kelereng yang jatuh, jiwa yang terluka layak ditolong, diperbaiki, ditaruh kembali ke tempat dimana dia sepatutnya berada.

Tindakan membantu seseorang, mungkin dia anggap sebagai upaya kecil untuk memperbaiki sesuatu yang mungkin bisa menyenangkan Tuhannya, meskipun pada akhirnya, dia akan berada dalam masalah ketika orang yang dibantunya bisa melihatnya.

Dia lebih suka tidak terlihat, tidak dianggap ada, dan tidak diperhitungkan keberadaannya.

Karena semakin banyak orang yang melihatnya, mereka akan meminta waktunya yang terbatas, dan menuntut “keadilan” darinya.

2. Keinginan Manusia

Namun, apa yang terjadi selanjutnya mengejutkan hamba Allah ini.

Ketika dia selesai membantu, seperti biasa, dia ingin kembali ke kehidupan normalnya—sibuk dengan tugas, pekerjaan, dan ya, sedikit kemalasannya.

Tapi bagi kebanyakan manusia, tindakan itu tidaklah cukup.
Bagi mereka, perhatian harus berkelanjutan, dan kebaikan yang diberikan dianggap sebagai hak, bukan sebagai pilihan hamba Allah itu untuk membantu sebentar.

Trauma Menolong Manusia NPD

Suatu ketika hamba Allah ini bertemu dengan seorang manusia NPD yang kelihatannya membutuhkan pertolongannya.

Hamba Allah ini, yang dulunya tidak memiliki prasangka buruk terhadap manusia, tentu saja dengan senang hati membantu Manusia NPD tersebut.

Namun orang dengan NPD yang ditolong oleh hamba Allah ini mulai merasa bahwa hamba Allah tersebut harus selalu ada, harus terus berbuat baik kepadanya tanpa henti, dan menemani kapan pun dia butuh.

Ketika hamba Allah kembali ke rutinitasnya, orang dengan NPD ini justru merasa dikhianati dan menganggap bahwa hamba Allah tersebut tidak memenuhi ekspektasinya.

Akibatnya, NPD ini mengibarkan bendera perang, karena merasa bahwa kebaikan itu adalah sesuatu yang harus berlanjut selamanya, bukan hanya sementara.

3. Kesabaran Diuji

Ini adalah momen di mana hamba Allah, yang biasanya tidak memerlukan terima kasih atau pengakuan, mulai merasa kesal.

Bukan karena dia ingin dipuji dan/atau perlu kata terima kasih, tetapi karena NPD ini melampaui batas, menuntut sesuatu yang tidak realistis.

Bahkan dalam toleransi dan kesabaran, ada titik di mana kita bisa merasa didorong hingga ke batasnya.

Orang dengan NPD ini sangat menguras energi, dan bahkan orang yang paling sabar pun bisa kehilangan ketenangan ketika dihadapkan pada ekspektasi yang tidak masuk akal.

Hamba Allah ini, yang telah belajar banyak tentang kesabaran dari Allah, tiba-tiba mendapati dirinya hampir melupakan pelajaran utama itu.

4. Pelajaran dari Kebaikan Hamba Allah

Cerita ini memberikan kita pelajaran penting tentang berbuat baik tanpa pamrih, tapi juga tentang menjaga batasan.

Tindakan memungut kelereng yang jatuh mencerminkan kepedulian kecil yang tulus, namun ketika hamba Allah ini dipaksa untuk melanjutkan hubungan dengan orang lain, terutama mereka yang memiliki sifat narsistik, egois, dan/atau artificial, yang tentunya tidak disukai siapapun yang punya kesadaran mental, maka jiwanya akan berontak,
saat batas antara hak, kewajiban, dan pilihan bisa menjadi sangat tipis.

Hamba Allah ini memberikan contoh bahwa kita bisa tetap berbuat baik tanpa mengharapkan pujian, tapi juga perlu menjaga diri dari ekspektasi orang lain yang tidak realistis.

Membantu orang lain adalah tindakan mulia, tetapi kita tidak boleh terjebak dalam siklus di mana kehadiran kita diharapkan terjadi secara terus menerus dan menetap untuk menjadi budak manusia.
(Naudzubillah)

Pada akhirnya, kesabaran tetap menjadi kunci, tetapi juga dengan kesadaran bahwa kita punya hak untuk menarik diri jika kita melihat batasan itu dilanggar.

Secara de facto, seorang manusia akan tetap menarik bagi hamba Allah dan hamba Allah ini tidak akan zalim meninggalkan seorang manusia sampai dia mendengar manusia itu berbohong sebanyak 3 (tiga) kali.

Cut the bullshit kata-kata kita sebagai hamba Allah, sebagai manusia biasa pun seseorang akan merasa kesal jika dibohongi.

Bohong itu tidak hanya meliputi perkataan yang serius saja tapi juga:
1. Ketidaksesuaian antara perkataan dan perbuatan;
2. Berbohong sambil bercanda;
3, Kebohongan-kebohongan kecil.

I hate that!
Karena jika seseorang berkata bohong itu sangat tidak menyenangkan bagi hamba Allah manapun.

Penutup: Hobi Hamba Allah Berbuat Baik

Hamba Allah ini mengajarkan kita tentang keseimbangan antara berbuat baik dan menjaga batasan diri kita sendiri.

Dia tetap akan mempunyai hobi hamba Allah yang sama, memungut apa yang jatuh, memperbaiki yang rusak, tetapi dia tidak merasa perlu untuk selalu hadir selamanya bagi orang yang dia tolong.

Meskipun kesabarannya setipis kulit ari ketika menghadapi kebohongan dan manipulasi, tapi kesabaran adalah bagian penting dari iman,
kita tetap harus bijak dalam menentukan kapan harus terus membantu, dan kapan saatnya untuk melangkah meninggalkan orang yang mencoba memanipulasi dan/atau membohongi kita.

Manusia tidak akan pernah merasa cukup dengan kebaikan yang kita lakukan, dan itu adalah pelajaran bagi kita semua bahwa tidak setiap orang bisa menghargai apa yang kita lakukan dengan cara yang kita harapkan.

Pada akhirnya, yang paling penting adalah menjaga kemurnian hati kita dan tetap melanjutkan buku hidup, meskipun ada yang memilih untuk mengibarkan bendera perang dan/atau membenci kita, bahkan ketika kita sudah melakukan yang terbaik yang kita bisa untuk membantu mereka.

KEP: Apakah Kita Harus Berhenti Menolong Manusia?

Mungkin ini adalah alasan kenapa bahkan Malaikat saja tidak boleh terlihat dan Tuhan tidak lagi menunjukkan kekuatan-Nya via mukjizat di dunia.

Manusia akan terus menuntut kita untuk senantiasa baik, tanpa melakukan perbaikan diri sendiri.

Mereka berpikir bahwa ketika mereka berbohong kepada kita, kita tidak tahu.
(KEP: It’s so insulting when they do that.”)

Tugas utama kita sebenarnya adalah menyampaikan kebenaran, menyaksikan kejadian, dan (kalau tidak malas) menolong manusia.

Kita tidak suka manusia yang suka berbohong, walaupun untuk hal-hal yang kecil.

Tidak ada pembenaran, memang tidak benar, dan tidak dibenarkan perilaku yang menyimpang dari kata jujur.

Kita lebih suka mendengar kata hati dari manusia, daripada yang keluar dari mulutnya yang sering berdusta.
(Walaupun mungkin kita tahu bahwa itu adalah defense mechanism mereka)

Karena itu kita malas bicara sama manusia, kecuali yang suka bicara jujur.

Kalaupun tidak ada manusia yang seperti itu di sekitar kita, biasanya kita memilih untuk sendiri daripada bicara sama manusia yang penuh kepalsuan, kebohongan, dan senantiasa berkata dusta,

Kebohongan itu dapat merusak hati, dan hati yang rusak itu terlihat buruk.
Kebanyakan hamba Allah, yang bisa melihat itu, melihat manusia dari hatinya.

FYI: Hati yang rusak itu menular.
Jika anda biasa bicara dengan orang yang rusak hatinya, anda akan tertular,
kemudian anda akan terbiasa mengatakan kebohongan.
setelah itu anda akan menormalisasi kebohongan.

B: Kita tidak bisa berhenti menolong manusia, karena itu akan membuat Allah tidak berkenan

Terima Kasih atas kunjungan dan komentarnya di NKRI One

Most Read
Scroll to Top