Kalau Ingin Jiwamu Stabil, Unfollow Para Tukang Pamer

Kalau Ingin Jiwamu Stabil, Unfollow Para Tukang Pamer

Pernah nggak sih, lagi suntuk, mau lihat yang happy-happy (menyenangkan) dan lucu di media sosial, tiba-tiba ketemu tayangan si Tukang Pamer?

Pasti tambah pusing (dan mungkin nyinyir) kan?

Mau diblok tapi kenal di dunia nyata, nggak enak, tapi mau diikutin ya gitu saja isinya, seolah dunia ini hanya tempat memamerkan barang, bukan menikmati dan mensyukuri nikmat.

Lalu gimana sih sebaiknya menghadapi para Tukang Pamer, yang banyak beredar di media sosial dan.atau di dunia nyata (juga banyak kan, hihihihihi)

Respon terhadap Tukang Pamer

Sebenarnya ada 2 reaksi utama yang biasa terjadi ketika seseorang melihat konten dari Tukang Pamer dan 1 reaksi tambahan.

Respon Orang Kaya

Pada kenyataannya banyak Orang Kaya yang bosen dan seliwiran melihat konten di media sosial, untuk sekedar cari hiburan dan/atau inspirasi.

Jadi ketika mereka melihat karya para Tukang Pamer yang memamerkan hal yang menurut mereka standar atau biasa, ya mereka hanya tersenyum.

Respon Orang Biasa

Ketika melihat “pameran” pasti akan menimbulkan keinginan untuk sama dan/atau lebih.

Begitu juga dengan orang kebanyakan yang melihat apa-apa yang dipamerkan si Tukang Pamer, akan timbul rasa ingin memiliki, terlepas sebenarnya barang yang dipamerkan misalnya tidak begitu bagus dari segi kualitas dan/atau ketahanan produk.

Respon Tambahan (Reaksi Otak)

Secara responsif otak/pikiran akan memberikan respon tambahan di kala melihat sesuatu yang tidak lazim/tidak biasa yang dianggap lebay (berlebihan).

Ada yang terucap, ada yang tidak, dan ada juga yang menggunjing dengan orang di sebelahnya, tanpa sadar.

Biasanya kata-kata (kalimat) yang ada di pikiran, antara lain sebagai berikut:

“aduuh, apa lagi yang dipamerin nih?” (penasaran)

“cuma gini doang dipamerih, cih”

“lho, gak capek-capek ya tiap hari pamer gini terus”

Perbedaan Zaman Dulu dan Zaman Sekarang

Kadang saya mikir, kenapa orang zaman dulu lebih banyak bersyukur daripada mengeluh atau merasa susah.

Ternyata perbedaan zaman dulu dan zaman sekarang adalah, dulu tidak ada konten medsos yang penuh pamer (kekayaan), menyepelekan/merendahkan (orang lain atau pekerjaan orang lain), dan/atau penuh kepalsuan (sudah ada beberapa yang ketahuan tidak seperti yang mereka tampakkan di media sosial).

Dengan jangkauan akses setiap hari, setiap saat, dan setiap waktu di gengaman tangan (via handphone), kita bisa melihat apapun yang kita inginkan.

Sehingga hal itu memudahkan terlihatnya kesenjangan sosial yang pada buntutnya akan menimbulkan dan memperlebar kecemburuan sosial.

Dengan adanya kecemburuan, maka si penonton akan merasa tidak bersyukur dengan segala apa yang dia punya.

Proses Pembuatan Konten Media Sosial

Tahukah anda, bahwa untuk membuat sebuah konten penuh arti untuk pamer, sesorang (yang suka pamer) harus memalsukan hidupnya.

Konten Barang Bermerek (Branded) atau Langka

Contohnya seperti ini, ketika saya membeli sepatu mahal, saya membelinya bukan untuk pamer, apalagi di foto/video seperti orang norak (kampugan).

Kenapa?

karena beberapa tahun ke depan, saya (yang tentunya dalam kondisi ekonomi maupun kejiwaan yang lebih baik dari zaman sekarang, inshaa Allah) akan malu sendiri melihat pamer kepameran saya di masa lalu.

Begitu juga ketika membelikan keluarga dan/atau teman barang branded (bermerek), dari zaman dulu waktu dompet masih kadang tidak berisi uang kertas, hal seperti itu bukan hal yang layak untuk disimpan di media social yang kita miliki.

Konten Restoran Mahal

Ini saya rasakan sendiri, ketika mencoba mengikuti tren dengan merekam dan memposting ketika makan di restoran (tempat makan) yang masuk di level high class (mahal, Bahasa Indonesianya).

Saya ke restoran, tujuan utamanya buat makan enak, bukan buat merekam sana sini, yang akhirnya malah mengurangi kenikmatan makan di restoran dimaksud.

Selain itu, aneh nggak sih, kalau pas kita makan, ada meja sebelah yang sibuk merekam, dan sok review makanan sambil ngomong dengan suara lantang.

Catatan: merekam video review on the spot (secara langsung) biasanya memerlukan seseorang (content creator/pembuat konten) untuk bersuara jelas dan lumayan keras agar hasil audionya bagus).

Dan, setelah merekam sana sini, eh, pas mau makan, makanannya sudah dingin.

Coba bayangin, makan steak tapi dingin. (hahaha, kejel (keras tidak enak), brother)

Konten Hotel Mevah, eh, Mewah

Sama seperti di atas, ketika saya di hotel, semewah apapun, sebenarnya saya ingin beristirahat.

Bukan merekam kamar mandi dan/atau fasilitas lainnya yang tersedia di hotel, apalagi kamar tempat saya mau bobo.

Capek apa?

Capek beraktivitas sebelum ke hotel dan capek mikirin mbayarnya. (hahaha)

Penyebab Stress Masal di Masyarakat

Diakui atau tidak, pamer kekayaan kepada orang lain, dapat menyebabkan kecemburuan sosial yang berdampak pada kondisi kejiwaan orang-orang yang melihatnya.

Untuk itu, sebaiknya jikalau anda termasuk orang yang berkecukupan apalagi kaya, tidak memamerkan kekayaan dan/atau kemewahan, karena tentunya semua orang menginginkannya tapi tidak bisa.

Dan jikalau anda termasuk orang yang belum berkecukupan, sebaiknya anda meng-unfollow orang-orang yang hobi pamer, karena tidak ada manfaatnya kecuali menambah beban mental anda.

Lebih baik anda kerja, kerja, dan kerja, untuk semakin mensejahterakan diri anda, keluarga anda, dan/atau orang-orang yang peduli kepada anda dan menyayangi anda.

Penggunaan Bijak Media Sosial

Media sosial sebaiknya digunakan untuk bersosialisasi dengan orang-orang terdekat kita (kecuali mantan ya).

Bukan untuk bahan nyari dosa dengan bergunjing dan iri hati.

Oh iya, saya kasih tahu rahasia si tukang pamer ya, khusus di NKRI.one saya berbagi rahasia para tukang pamer.

Rahasia Tukang Pamer

Biasanya para tukang pamer memilike rasa kekurangan yang jauh melebihi orang0orang tempat tujuan pamernya.

Apa saja sih kekurangan yang dimiliki tukang pamer:

  1. Menurutnya, apa yang dipamerkannya, mahal, bagus, dan/atau berharga, padahal bagi kaum 1% (orang kaya banget), itu tidak lebih dari rempeyek;
  2. Mereka biasanya dulunya sengsara (susah), makanya merasa “wah” (kagum) banget dengan sesuatu yang sebenarnya biasa;
  3. Tidak memiliki kehidupan nyata yang penuh kehangatan tanpa kepalsuan.

Sekian dan terima kasih sudah membaca artikel kami di NKRI.one.

Media yang jujur (tapi jangan) dipercaya (kalau tidak mau lurus dan hidup tenang) dan selalu update denghan kondisi terkini (kalau saya tidak sedang tidak ada halangan). Hahahahaha

See you in my next articles (sampai jumpa di artikel saya berikutnya).

Maju Indonesiaku, Sejahtera Bangsaku!!!

Terima Kasih atas kunjungan dan komentarnya di NKRI One

Scroll to Top
%d bloggers like this: