Pura-Pura Tidak Tahu, Pura-Pura Tidak Mendengar
Saking shocknya, hamba Allah ini pura-pura tidak mendengar.
Ketika kata-kata sederhana membawa dampak besar, bagaimana seorang hamba Allah menyikapi situasi yang penuh emosi dan keterbatasan?
Pendahuluan
Ada kalanya kata-kata sederhana bisa menghancurkan dinding pembatas hati (emotional armor) yang telah dibangun selama bertahun-tahun.
“Apa yang kamu katakan? Saya tidak bisa berkata-kata apapun. (untuk meresponnya)”
(That was crazy—I honestly thought it was impossible for that to happen.
Kata-kata itu mungkin terdengar biasa bagi sebagian orang, tetapi bagi seorang hamba Allah yang terbiasa hidup lurus (setidaknya sekarang sudah berusaha hidup lurus, LoL), kata seperti itu bisa menjadi senjata penghancur dinding pembatas yang membuatnya mempertanyakan “Apa yang barusan kita dengar?“.
Ketika dihadapkan pada situasi yang menyentuh hati, reaksinya bukan senang atau memberikan respon seperti yang dilakukan manusia lain, melainkan pura-pura tidak tahu dan pura-pura tidak mendengar.
Artikel ini adalah refleksi tentang bagaimana seorang hamba Allah menghadapi situasi yang tak terduga, di mana kebaikan dan ketulusan menjadi sesuatu yang sulit diterima karena dia selalu “siap perang” dan tidak begitu tahu cara untuk menghadapi hal-hal yang penuh kebaikan.
Kenapa Harus Pura-Pura Tidak Tahu?
1. Melindungi Diri dari Emosi Berlebihan
Hamba Allah sering kali didesain untuk tugas berat, seperti menghadapi kesulitan dan menyelesaikan konflik.
Ketulusan, keluguan, dan kebaikan yang datang tiba-tiba bisa menjadi sesuatu yang membingungkan seorang hamba Allah yang didesain untuk “bertempur“.
“Ketika dia merasakan ketulusan, dia bisa terharu dan bertanya pada Allah, ‘Aku salah apa?‘.”
Ini bukan pertanyaan retoris, melainkan ekspresi ketidakpercayaan bahwa hal seperti itu bisa terjadi pada dirinya.
2. Menjaga Batas Spiritual dan Moral
Ketika kata tertentu keluar dari seseorang yang tidak dia duga, batas keamanan moral dan dinding pembatas spiritual menjadi alasan utama untuk mengalihkan pembicaraan dan bertindak seolah-olah tidak mendengar apa yang baru saja diucapkan orang yang sedang bicara kepadanya.
“Kata yang tabu bagi saya…apa yang orang itu ucapkan.”
Tidak melewati batasan yang jelas adalah bentuk kepatuhan terhadap Allah, meskipun hati, jiwa, dan otak, mungkin sedikit terguncang oleh momen perkataan dimaksud.
KEP: “Gini ya kak, hamba Allah ini sebenarnya sangat lugu dengan segala bentuk kebaikan, dia tidak tahu bahwa manusia bisa seperti itu kepada orang lain yang ‘biasa saja’ seperti hamba Allah ini“.
(Setidaknya untuk saat ini, dia harus menjalani peran “biasa saja” itu untuk melatih temperamennya)
Shock dan Salah Tingkah: Ketika Kebaikan Menyentuh Hati
“Hamba Allah itu mudah tersentuh dengan hal-hal yang baik.”
Sebagai seseorang yang terbiasa menghadapi kesulitan dan perjuangan, kelembutan hati orang lain menjadi sesuatu yang langka dan luar biasa.
- Menangis Terharu:
Ketika ada orang yang baik padanya, reaksinya bukan kebahagiaan biasa, melainkan tangisan karena merasa tidak layak menerima kebaikan itu. - Pertanyaan kepada Allah:
Ketika ketulusan yang baik, perhatian yang tulus, datang, dia tidak tahu harus berbuat apa kecuali bertanya kepada Allah, “Kenapa aku?”
Panik Emosional
Dalam situasi ini, mendengar kata tertentu dari seseorang yang disukai, tetapi tidak mungkin dimiliki, menciptakan konflik batin yang besar:
- Shock:
Kata itu menjadi seperti petir yang menyambar jiwanya. - Panik:
Tidak tahu bagaimana harus merespons tanpa melanggar batas moral dan prinsipnya - Salah Tingkah:
Akhirnya memilih untuk mengalihkan pembicaraan atau berpura-pura tidak mendengar.
Kenapa Reaksi Ini Terjadi?
1. Desain untuk Perang, Bukan Kelembutan
Seorang hamba Allah sering merasa bahwa hidupnya dirancang untuk menghadapi kesulitan, bukan untuk menikmati kelembutan hati dan kebaikan dunia.
“Dia (menurutnya) didesain untuk perang, bukan untuk menikmati kelembutan hati dan kebaikan dunia.“
Pandangan ini menciptakan konflik ketika sesuatu yang baik dan lembut datang ke dalam hidupnya.
2. Ketakutan akan Ketergelinciran
Kebaikan yang datang dari seseorang yang tidak dia duga, menciptakan rasa takut akan godaan.
Reaksi alami adalah pura-pura tidak tahu atau berpura-pura tidak mendengar untuk menjaga diri dari potensi melakukan kesalahan yang fatal dalam hidupnya.
3. Ketidaksiapan Menghadapi Kebaikan
Ironisnya, mereka yang terbiasa menghadapi keburukan sering kali tidak tahu bagaimana menghadapi kebaikan.
Kebaikan terasa seperti sesuatu yang asing dan sulit dicari alasan “kenapa”nya.
Terkadang orang hanya berbuat baik saja, iseng, tanpa mengharapkan apapun kembali, tapi manusia seperti ini sangat langka, karena itu hamba Allah tipe Krisna ini sangat kaget karena dia menemukan kebaikan seperti nelayan menemukan ikan (sangat banyak kebaikan yang dia rasakan dalam hidupnya, Alhamdulillah)
Pelajaran yang Bisa Diambil
1. Kendalikan Emosi dengan Doa
Ketika dihadapkan pada situasi yang sulit secara emosional, berdoa kepada Allah adalah cara terbaik untuk mencari ketenangan dan arah.
“Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari hal-hal yang bisa menjauhkan aku dari jalan-Mu.“
2. Ingat Tujuan Hidup
Selalu ingat bahwa hidup sebagai hamba Allah memiliki tujuan yang lebih besar daripada sekadar mengejar kesenangan duniawi. yang sesaat apalagi sesat (Naudzubillah)
“Aku punya tujuan, dan tujuan itu hanya bisa dicapai jika aku tetap berada di jalan yang diridhai Allah“
3. Jaga Batas Moral dan Spiritual
Tidak semua emosi harus diungkapkan, dan tidak semua situasi harus direspon secara langsung.
Kadang, berpura-pura tidak tahu dan/atau pura-pura tidak mendengar adalah cara terbaik untuk menjaga diri kita sendiri dan orang lain.
Kesimpulan
Pura-pura tidak tahu dan pura-pura tidak mendengar adalah bentuk perlindungan diri bagi seorang hamba Allah yang mudah tersentuh dengan segala bentuk kebaikan (baik legal maupun ilegal, LOL).
Ini bukan tentang menolak kebaikan dan/atau mengabaikan perasaan orang lain, tetapi tentang menjaga batas spiritual, moral, dan emosional dalam situasi kahar.
KEP: “Gini ya kak, ujian hamba Allah ini adalah jauh dari keluarganya, jauh dari apa yang namanya masakan rumahan.
Janganlah pula kucing yang dulunya liar kamu tawarin ikan bandeng presto kesenangannya, bisa gila dia.
Ngerti?“
Ketika kebaikan yang tulus datang dari arah yang tak terduga, reaksi alami mungkin adalah kebingungan, panik, atau bahkan langsung bertanya kepada Allah (misalnya tentang kenapa dia mendapat perlakuan seperti ini).
Namun, pada akhirnya, semuanya kembali kepada niat untuk tetap berada di jalan yang lurus, menjaga amanah sebagai hamba-Nya.
“Aku mengalihkan pembicaraan ke arah lain, bersikap seolah aku tidak tahu, tidak mendengarnya.
Karena, aku tahu apa yang aku inginkan, aku tahu tujuanku—dan itu lebih besar daripada kesesatan atau kengawuran sesaat yang nyata“
Dan, sebisa mungkin, jangan cute-cute banget di depan, di sekitar, dan/atau di samping hamba Allah, karena itu adalah kelemahan terbesarnya.
Ingat, hamba Allah yang ini, bukanlah hamba Allah yang suci 100% dan tidak pernah berbuat dosa, in fact he’s a former demon, who did sins for breakfast, it means he’s not a monk.