Ilmu “Fakery” untuk Menghadapi Orang yang Penuh Kepalsuan

Belajar Ilmu “Fakery” untuk Menghadapi Orang yang Penuh Kepalsuan

Kehidupan kadang mengharuskan kita untuk beradaptasi dengan segala macam orang, mulai dari mereka yang tulus, baik hati, hingga mereka yang penuh kepalsuan.

Di dunia yang semakin kompleks ini, kita tidak bisa mengharapkan setiap orang yang kita temui memiliki niat yang baik atau hati yang bersih.

Banyak dari mereka bertopeng, menyembunyikan maksud sebenarnya di balik kata-kata dan sikap mereka yang palsu.

Nah, di sinilah ilmu fakery atau kemampuan untuk bermain sesuai permainan mereka bisa sangat berguna.

Menghadapi Orang yang Tulus: Kita Tulus Juga

Ketika kita bertemu dengan seseorang yang benar-benar tulus, yang niatnya murni tanpa pamrih, kita bisa merasakan itu.

Orang seperti ini memberikan energi positif, dan ketika kita berada di sekitar mereka, hati kita cenderung merasa lebih damai.

Terhadap orang yang tulus, tidak perlu ada kepalsuan dalam interaksi kita.
Kita bisa membuka diri, berbicara dari hati, dan merasa aman tanpa takut akan adanya motif tersembunyi.

Tulus dalam menghadapi orang tulus adalah bentuk timbal balik yang alami—kita bisa menjadi diri sendiri tanpa khawatir disalahgunakan.

Menghadapi Orang Baik: Tulus dan Perhatian

Orang baik adalah mereka yang, meskipun mungkin tidak setulus malaikat, masih memiliki niat baik dan seringkali tulus dalam menawarkan bantuan.

Sejujurnya, saya masih bingung ketika ada orang baik di dunia, saya bukanlah orang yang layak untuk dibaiki, diperlakukan dengan baik, dan/atau diberi kebaikan oleh manusia.

Oleh karena itu, dalam berhadapan dengan orang baik, kita perlu menjaga ketulusan dan memberi perhatian kita, mencari tahu apa yang mereka perlukan dari kita.

Ada pepatah dunia yang mengatakan “There’s no such thing as free lunch“, tapi pada kenyataannya, masih ada orang baik di dunia yang penuh kepalsuan ini (Alhamdulllah).

Untuk mereka, kita tidak perlu menggunakan “fakery” yang berlebihan, tapi kita juga harus lebih berhati-hati agar tidak mengecewakan dan/atau menyakiti mereka baik sengaja maupun tidak sengaja.

Orang baik bisa menjadi korban dari orang jahat, jadi kita perlu memastikan bahwa kita memberikan mereka dukungan yang mereka layak dapatkan,
sambil tetap mengingat bahwa di dunia yang penuh kompleksitas ini, orang baik biasanya menjadi korban orang jahat.

Dan tidak jarang orang baik seperti ini menjadi korban kejahatan hati manusia calon penghuni neraka.
(Gw kadang salut sama orang jahat, karena mereka tidak takut mati dan tidak takut neraka sama sekali)

Menghadapi Orang Fake: Tulus dengan Sentuhan “Fakery

Sekarang, saat kita berhadapan dengan orang yang penuh kepalsuan, ilmu “fakery” menjadi senjata yang ampuh.

Orang fake mungkin terlihat ramah dan manis, tapi di balik itu mereka menyembunyikan niat yang berbeda.

Menghadapi mereka, kita tidak perlu menghabiskan energi tulus kita sepenuhnya.
Sebagai gantinya, kita bisa bermain dengan cara yang sama.
Kita bisa menunjukkan keramahan dan perhatian, tapi tetap dengan sikap yang waspada.

Ilmu fakery bukan berarti kita menjadi orang yang manipulatif atau licik, tapi lebih kepada perlindungan diri dan ketenangan jiwa kita dari sergapan kebusukan hati manusia.

Kita menyesuaikan energi kita dengan energi mereka tanpa menyerahkan kendali.
Tulus? Iya, tapi dengan batasan.

Kita menunjukkan kebaikan, tapi kita tidak terlalu terbuka sehingga bisa dimanfaatkan.

Kita tetap berinteraksi, tapi tidak membiarkan mereka masuk terlalu dalam ke lingkaran orang yang bisa kita percaya (circle of trust).

Menghadapi Orang Toxic: Fakery Penuh

Lalu ada mereka yang toxic—orang-orang yang hidupnya dikelilingi oleh negativitas dan yang suka menyebarkan racun emosional kepada orang lain.

Orang toxic bisa menyerap energi kita, membuat kita merasa lelah, tertekan, bahkan hancur.

Dengan orang-orang ini, ilmu fakery menjadi senjata pamungkas.
Mereka bukan tipe orang yang bisa kita hadapi dengan kejujuran dan ketulusan tanpa risiko terkena dampaknya.

Di hadapan mereka, kita perlu bertopeng penuh, memperlihatkan bahwa kita bermain di medan yang sama, tetapi tanpa memberi mereka akses ke hati kita.
Ulangi, tanpa akses ke hati dan perasaan kita sama sekali, langsung block apapun yang mereka katakan biasanya tidak membawa manfaat, malah mudharat (merugikan) yang ada.

Kita tetap bisa berinteraksi, tapi interaksi itu harus didasarkan pada strategi.

Berikan mereka apa yang mereka inginkan di permukaan, tetapi jangan pernah memberikan energi tulus yang bisa mereka hancurkan.

Jadilah cermin bagi keburukan mereka, tanpa pernah benar-benar memperlihatkan sisi baik, hati, dan/atau kelemahan kita.

Kesimpulan: Ilmu Fakery

Di dunia ini, tidak semua orang layak mendapatkan ketulusan kita.

Setiap orang yang kita temui memiliki karakter dan niat yang berbeda, dan penting bagi kita untuk menyesuaikan cara kita berinteraksi berdasarkan siapa yang ada di depan kita.

Orang yang tulus dan baik layak mendapatkan ketulusan yang sama.
Mereka adalah oasis di tengah gurun kepalsuan yang harus kita rawat, perhatikan, dan jaga.

Namun, bagi mereka yang penuh kepalsuan atau toxic, ilmu “fakery” menjadi alat perlindungan kita.
Kita tidak perlu menyerang mereka, tetapi kita juga tidak boleh membiarkan diri kita dimanfaatkan atau dirusak.

Jadilah pemain cerdas dalam permainan sosial ini—kita tidak perlu kehilangan jati diri kita, tetapi kita juga tidak harus selalu memperlihatkan kartu kita.

Fakery bukan berarti kita menjadi orang jahat, tetapi lebih tentang bertahan hidup dalam dunia yang sering kali tidak selalu tulus dan baik.

Dengan begitu, kita bisa menjaga keseimbangan antara ketulusan dan perlindungan diri, tetap baik, santun, dan penuh perhatian pada orang yang pantas mendapatkannya, sambil menjaga jarak dengan mereka yang tidak.

Terima Kasih atas kunjungan dan komentarnya di NKRI One

Most Read
Scroll to Top