Pernah Mencoba Mencelakakan Saya?

Anda Bukannya Pernah Mencoba Mencelakakan Saya?
(Tentang Memaafkan, Anti Kebencian, dan Pembelajaran Spiritual)

Pernahkah Anda merasa diserang atau dicelakai oleh seseorang, baik secara fisik maupun mental, tetapi memilih untuk tidak membalas?
Mungkin orang itu pernah mencoba memfitnah Anda, memusuhi Anda, atau bahkan mengucilkan Anda.
Tetapi, alih-alih membalas dendam, Anda memilih untuk menjadi pemaaf. (sebagaimana perintah Tuhan)

“Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang ma’ruf, serta berpalinglah dari pada orang-orang yang bodoh.”
(QS. Al-A’raf: 199)

Gampang kan?
Kita hanya perlu “tidak membalas” hanya karena patuh pada perintah Allah, yang mudah-mudahan Dia lihat (hehehehehe).

Setiap perasaan sakit hati, bisa diubah menjadi pelajaran hidup yang berharga, pembuka mata, dan/atau pengarah masa depan.

Jika ada orang yang jahat pada anda sekarang dan/atau di masa lalu, bersyukurlah, karena anda berarti tidak akan memerlukan orang itu di masa depan, dan anda bisa menghapusnya dari memori (ingatan) anda, untuk mengurangi beban pikiran.

Artikel ini akan menggali lebih dalam tentang bagaimana kita dapat menghadapi orang-orang yang pernah berniat buruk terhadap kita dan bagaimana kita belajar dari hal tersebut tanpa membiarkan diri terjebak dalam siklus kebencian dan/atau balas dendam.

Pengalaman Dicelakakan

Mari kita mulai dari awal, saat pertama kali Anda menyadari bahwa seseorang pernah mencoba mencelakakan Anda.

Tidak jarang dalam hidup, kita menemukan individu yang, entah karena iri, cemburu, atau hanya kebencian tanpa sebab, berusaha mencelakakan kita.

Mereka mungkin menggunakan segala cara—fitnah, gosip, bahkan tindakan fisik—untuk merusak kebahagiaan dan ketenangan hidup kita.

Namun, bukan tindakan mereka yang menjadi fokus utama di sini, melainkan bagaimana kita meresponsnya.

Ketika seseorang berusaha mencelakakan kita, kita sering kali tergoda untuk membalas dengan cara yang sama atau lebih.

Mungkin kita ingin membuka rahasia mereka, memusuhi mereka, atau mencoba membuat hidup mereka menjadi jadi susah.
Namun, apakah balas dendam benar-benar memberikan kepuasan?
Atau justru membuat kita semakin terjebak dalam siklus kebencian yang mungkin justru akan merusak diri kita sendiri?

Pembelajaran dari Tuhan: Pengampunan dan Kesabaran

Di sinilah peran Tuhan masuk. Semoga Tuhan mengampuni saya, selama ini saya selalu memfitnah Tuhan, dengan mengatakan bahwa Dia menangkap saya, padahal yang sebenarnya adalah saya menyerahkan diri kepada Tuhan, beberapa puluh Tahun yang lalu.

Apakah Tuhan memusnahkan saya? Tidak, eh belum.

Apakah Tuhan ngomelin saya? Tidak, justru Dia melihat dengan penuh “amusement” (gw jadi hiburan untuk-Nya).

Dari mana saya tahu bahwa Dia tidak marah?

Tahun pertama saya taubat (menyerahkan diri), saya tidak punya pacar sama sekali, haram kata orang Islam, jadi saya untuk pertama kalinya benar-benar sendiri di kota yang ramai dengan penduduk puluhan juta, tapi tidak ada satu pun yang ada untuk saya, di hari ulang tahun saya.

Sambil berkendara, air mata saya bercucuran kayak hujan, lalu saya berkata dalam hati kepada Tuhan, “Ya Allah, saya ingin hadiah ulang tahun”.

(Seinget saya), sekitar 3 (tiga) jam dari situ, saya mendapatkan hadiah ulang tahun yang tak ternilai harganya dari orang yang tidak saya kenal sebelumnya dan tidak pula saya kenal sekarang.
(Bentuknya fisik kok, bukan “iman” sambil nunjuk ke arah jantung, kayak kata orang-orang yang sok agamis tapi zonk)

Dan setelah itu masih banyak lagi hadiah-Nya yang kalau saya sebutkan satu per satu, akan membuat anda bosan.

Karena itu dalam hidup ini, kita harus nurut sama Tuhan yang mengajarkan kita dengan lembut untuk mematuhi perintahnya, yaitu bersabar dan menjadi pemaaf.
Sabar dalam menghadapi orang yang mencelakakan kita, sabar dalam menghadapi fitnah, dan sabar untuk tidak membalas dendam.

Bukan hal mudah, tentu saja. Ketika seseorang menyakiti kita, insting pertama adalah ingin melawan, membalas, dan/atau ingin memusnahkan.
Tetapi, ketika Tuhan membimbing kita untuk bersabar, kita mulai melihat bahwa balas dendam ataupun marah, hanya akan merugikan diri kita sendiri dan mungkin akan membuat orang-orang yang mencintai kita takut dengan versi setan kita.

Bahkan dalam situasi yang paling sulit sekalipun, Tuhan menginginkan kita untuk tetap berbuat baik dan tidak terpengaruh oleh keburukan orang lain.

Menahan Diri dari Balas Dendam

Ada sebuah pelajaran penting yang diajarkan oleh Tuhan, yaitu untuk tidak balas dendam.
Dendam adalah racun yang menggerogoti hati kita dari dalam.

Ketika kita membiarkan dendam menguasai diri kita, kita sebenarnya hanya menyakiti diri kita sendiri.

Dendam membuat kita kehilangan kedamaian, membuat kita terobsesi dengan keinginan untuk melihat orang lain menderita.

Namun, dalam pelajaran hidup ini, kita diajarkan bahwa dendam tidak pernah membawa hasil yang baik.

Tuhan menginginkan kita untuk menahan diri.

Mengapa?
Karena pada akhirnya, setiap perbuatan buruk yang kita lakukan akan kembali kepada diri kita sendiri.
Karma bekerja dengan cara yang misterius, tetapi pasti. Ketika kita menyakiti orang lain, kita pada akhirnya akan menerima konsekuensi dari tindakan kita.
Jadi, bukankah lebih baik bagi kita untuk senantiasa tenang, damai, dan welas asih. (lol)

Mencari Kedamaian dengan Menjadi Lebih Baik

Tuhan mengajarkan kita untuk berusaha menjadi orang baik, bahkan ketika dunia di sekitar kita tampak penuh dengan kebencian dan ketidakadilan.

Tentu saja, menjadi orang baik tidak berarti kita menjadi lemah atau mudah dibodohi.
Menjadi baik berarti kita memiliki kekuatan untuk menahan diri dari melakukan hal-hal buruk, meskipun kita tahu kita bisa melakukannya, tapi kita memilih untuk tidak melakukannya karena Allah (Lillahi Ta’ala).

Ketika kita memilih untuk tidak berbuat jahat dan malah senantiasa (sebisa mungkin) berbuat baik, sebenarnya kita sedang membebaskan diri kita dari beban kebencian dan dendam kesumat ala nyi blorong.

Kejadian Terakhir: Menemukan Kedamaian dalam Pengampunan

Menghadapi seseorang yang pernah mencoba mencelakakan kita bukanlah hal yang mudah. Namun, pada akhirnya, kita sampai pada suatu titik di mana kita menyadari bahwa pengampunan dengan menjadi pemaaf, adalah jalan terbaik.

Pengampunan bukanlah tentang membiarkan orang yang mencelakakan kita lolos begitu saja, tetapi lebih tentang membebaskan diri kita dari beban emosional yang datang dengan kebencian, yang dapat merusak hati kita.

Tuhan mengajarkan saya untuk belajar bersabar, untuk belajar memaafkan, dan untuk tidak membalas tindakan buruk yang dilakukan oleh orang lain.

Dengan begitu, saya bisa melanjutkan hidup dengan tenang, tanpa perlu merasa terganggu oleh orang-orang yang pernah mencoba mencelakakan saya.
(Ya, kalau melihat orang-orang yang pernah mencoba mencelakakan saya, masih saja kesal, tapi setidaknya kita tidak menyimpan dendam, hanya enegsaja tiap lihat)

Penutup: Tindakan terhadap Orang yang Pernah Mencoba Mencelakakan Kita

Pada akhirnya, kita semua pasti pernah mengalami rasa sakit yang disebabkan oleh orang lain. Mungkin kita pernah difitnah, dikucilkan, dan/atau bahkan diserang secara fisik, kata-kata (verbal), atau emosional.

Namun, pilihan selalu ada di tangan kita.
Apakah kita ingin membalas dendam, atau kita memilih untuk mengambil hikmah dari pengalaman itu dan melanjutkan hidup dengan ketenangan dan kedamaian yang hakiki?

Tuhan selalu mengajarkan jalan yang lebih baik.
Jalan yang penuh dengan kesabaran, pengampunan, dan kebaikan. Ketika kita mengikuti jalan ini, kita tidak hanya membebaskan diri kita dari beban kebencian, tetapi juga menemukan kedamaian yang sejati.

Karena pada akhirnya, hidup bukan tentang siapa yang bisa membalas dendam dengan lebih baik, tetapi tentang siapa yang bisa menemukan kedamaian dalam hati mereka sendiri.

Jadi, yang tenang ya, mereka yang menyakiti anda pasti akan menerima balasannya, anda tidak perlu repot menyimpan dendam apalagi membalas dan mengotori tangan anda sendiri,

Terima Kasih atas kunjungan dan komentarnya di NKRI One

Populer Bulan Ini
Most Read
Scroll to Top